Menanggapi Tulisan Tarman Effendi Tarsyad

Oleh Sumasno Hadi

Tempo hari saya membaca tulisan Tarman Effendi Tarsyad (TET) mengenai puisi-puisi Ali Syamsudin Arsi (ASA) di Rubrik Tepilangit, Media Kalimantan (20/09/2015). Dengan mengambil beberapa puisi ASA dari antologi puisi bersama Gusti Indra Setyawan, Masdulhak Abdi, dan Taberi Lipani: Duri-duri Angin Tebing, TET mengulasnya dengan disertai beberapa catatan kritis. Tulisan saya ini tak lebih sebagai tanggapan saja, atas ulasan TET sebagaimana dimaksud itu. Dan tanggapan ini sangat tidak utuh. Artinya saya hanya menanggapi beberapa bagian ulasan TET saja, yang secara subjektif saya anggap perlu untuk ditanggapi.

Ulasan TET dimulai, dan diakhirinya, dengan pernyataan simpul bahwa puisi-puisi ASA (27 judul) didominasi oleh puisi yang berkenaan dengan lingkungan. Oh, lalu saya jadi bertanya. Lingkungan apa? Apa lingkungan pasar? Lingkungan ladang sawit? Lingkungan sekolah militer? Lingkungan sungai Barito? Lingkungan tentara? Lingkungan santri? Atau apa? Dari sorotan-sorotan di dalam ulasan TET, ternyata yang dimaksud lingkungan itu adalah lingkungan hidup. Lebih khusus lagi, lingkungan biotik, bukan lingkungan abiotik. Begitu, karena TET melihat puisi ASA menghadirkan persolan lingkungan (hidup). Misalnya persoalan hutan pada puisi “Orang-orang Pedalaman”, soal lahan-tanah pada puisi “Sebelum Angin Membadai”), juga mengenai sungai pada puisi “Sebelum Sungai Meradang”.

Ya, puisi-puisi ASA melalui diksi-diksi biotiknya itu memang bicara soal lingkungan hidup. Meskipun sebenarnya bisa lebih jauh lagi maknanya. Misalnya jika membaca diksi-diksi seperti: hutan, tanah, sungai, air, ikan, bukit, lumut, batu, pohon, rimba, tebing, daun, angin, cuaca, pada puisi-puisi ASA itu dengan penekanan metaforis. Oleh karena sangat mungkin, ketika ASA melemparkan diksi “tebing” misalnya, ia tidak membicarakan soal kontur tepian sungai yang terjal lagi tinggi, tapi ia sedang membicarakan kekuatan, barangkali nilai kekukuhan. Atau saat ASA menyajikan diksi “pucuk daun”, sebenarnya ia bukan membahas pucuk daun teh atau apa begitu, namun ia membahas soal generasi suatu kultur. Makanya ketika membaca catatan-catatan kritis TET untuk puisi ASA ini, saya lumayan didera rasa masygul. Betapa tidak, metafora sebagai napas puisi tak begitu dipertimbangkan dalam menggauli puisi-puisi ASA.

Pada satu bagian catatannya, TET menyatakan kebingungannya dalam meraih nilai koherensial pada puisi ASA yang berjudul “Sebelum Sungai Meradang”. Dari ketiga bait puisi ini, TET menyoal bait pertamanya. Bait pertama itu adalah: alam hanya di antaranya/ atas kuasa segala kuasa/ penanda/ simak dan baca/ atas tanda segala tanda/ tulis dan bicara/ atas rimba raya belantara. Di bait ini TET mengaku tak menemukan kaitan yang jelas antara “alam” dan “rimba raya belantara”, dengan tema-judul puisi: sungai yang meradang. Dan tanggapan saya: bukankah sudah terang, jika kaitan itu ada pada bait kedua? Yakni ketika penyair mengilustrasikan “tanda” di bait pertama sebagai “sungai yang meradang” dalam bait kedua, yang lengkapnya demikian: sungai yang meradang adalah gemuruh pijar semua tanda/ sungai yang meradang adalah arus deras di gelegar/ merah mata/ sungai yang meradang adalah kepal tangan racun cuaca.

Selain itu, masih pada bait yang sama, TET juga menyoal munculnya diksi “tanda” dan “penanda”. Hal itu dianggap TET berlebihan. Bahkan, menurutnya diksi “penanda” seharusnya tidak ada . Wah, kok harus? Bukankah konsep “tanda” dan “penanda” itu cukup distingtif, terang berbeda, lagi berlainan maknanya? Bagaimana mungkin diksi yang punya kemandirian makna itu (tanda; penanda) mau dihilangkan salah satunya? Kalau demikian, hilanglah satu unsur pembangun makna sebuah struktur bait puisi. Barangkali malah TET melihat “tanda” dan “penanda” itu sebagai sesuatu yang bisa disamakan. Entahlah.

Kemudian, masih pada objek yang sama, TET menyoal frasa “simak dan baca” yang disampaikan penyair untuk menanggapi “tanda” pada alam. Katanya, seharusnya (wah) baca dulu, baru simak. Juga pada frasa “tulis dan bicara”, yang diharuskan pula oleh TET untuk diganti saja dengan “tulis dan ucapkan”. Tanggapan saya, untuk soal yang pertama, ketika TET mengharuskan untuk membaca dulu baru menyimak, nampaknya ini dilandasi oleh konsep pemaknaan pengetahuan yang visual. Konsep ini mengandaikan kalau pemaknaan subjek kepada objek yang dimaknai itu terbentuk secara hirarkis. Artinya ada tingkatan makna, bahwa aktivitas membaca (pencerapan indrawi) itu tahap awal (lebih rendah) dari aktivitas yang lebih tinggi, yakni menyimak (pencerapan kognitif). Konsep pemaknaan indrawi-visual ini lemah untuk berlaku secara universal. Karena secara ilmiah, tidak semua subjek (orang) memiliki kelengkapan visual yang baik. Betapa tidak adilnya konsep ini untuk dihadapkan pada, maaf, para tunanetra? Apakah mereka harus membaca (melihat) dulu baru boleh dan atau bisa menyimak?

Jadi, soal simak-baca sebagai proses pemaknaan (pengetahuan) ini bukan soal pencerapan inderawi (membaca: visual) semata, tapi lebih kepada soal kognisi nalar ayng abstrak. Kalau dikembalikan pada teks puisi, sang penyair jelas mengajak untuk menyimak dan membaca tanda yang mewujud sebagai alam. Di dalam dan di hadapan alam ini, pertanyaan kritisnya, apakah manusia punya keharusan untuk mendahulukan salah satu di antara menyimak dengan membaca? Tidak, bukan?

Satu lagi, catatan TET pada penggunaan frasa “tulis dan bicara”. Menurutnya, dengan alasan kelaziman, sang penyair seharusnya memakai “tulis dan ucapkan”. Tanggapan saya, kelaziman yang mana? Kelaziman di mana, kapan? Apakah proses kreatif penulisan puisi hanya akan disandarkan pada nilai kelaziman? Kalau begitu, betapa kaku dan terbatasnya puisi-puisi yang akan ada. Tapi soal diksi “bicara” dan “ucapkan”, sebagaimana pada kasus “tanda” dan “petanda” di atas, menjadi sangat sederhana. Bahwa aktivitas bicara adalah ekspresi vokal (oral) penutur yang lebih kompleks bentuknya, ketimbang ucapan. Atau, bicara itu ekspresi penutur yang lebih panjang kuantitasnya ketgimbang berucap. Misal, kita tidak akan mengucapkan pendapat kita di tengah-tengah sebuah diskusi, tapi kita akan berbicara, membicarakannya. Dan yang lain, saat kita mau menyampaikan kata maaf ketika menyadari telah melakukan kesalahan, kita pun tak akan membiacarakan maaf, tapi mengucapkan maaf. Begitu, bukan?

Yang terakhir dari tanggapan saya untuk TET adalah ketika ia gamang dalam memaknai puisi “Sebelum Angin Membadai” serta puisi “Orang-orang Pedalaman”. Saya akan menanggapi puisi yang pertama: “sebelum Angin Membadai”. Di situ TET menghadapi ketidakjelasan makna pada bait keduanya ini: humus tanah semakin tumbuhkan/ pohon kawat pohon besi pohon batu/ daun-daun bertebaran di kering-kering/ semakin tebing gemetar berdentam-dentam. Pada bait ini, TET gamang, kenapa pohon-pohon itu (pohon kawat, besi, batu) bisa punya daun? Mengapa daunnya bisa bertebaran? Apa mungkin? Bukankah mustahil pohon-pohon semacam itu bertumbuh daun? Begitulah kiranya gugatan TET. Menanggapi kegamangan TET itu, saya menengarai kalau TET melihat puisi ASA ini dengan kacamata denotatif belaka. Bahwa pohon kawat, besi, batu itu nonsen. Pohon ya pohon; pohon mangga, pisang, jambu, yang berdaun. Tidak ada itu, pohon imajinatif atau rekaan. Kalau memang begitu dasarnya, ya sudah, puisi tamat.

Pada baris terakhir di bait yang sama, TET pun menyoal racik frasa puitik ASA. Pada forma ini: semakin tebing gemetar berdentam-dentam, seharunya menurut TET menjadi: semakin gemetar tebing berdentam-dentam. Tanggapan saya, pengharusan TET itu nampaknya berpangkal pada pemaknaannya atas diksi “tebing” yang sempit-denotatif. Makanya frasa “semakin tebing” menjadi absurd maknanya. Hal ini akan menjadi tak absurd kalau saja TET mau menginterpretasikan “tebing” bukan sebagai tebing. Apa saja, selain tebing yang denotatif itu.[]

Banjarmasin, 3 Oktober 2015

Sumber: Media Kalimantan, 4 Oktober 2015